top of page

Kisah Siti Hajar, TKW asal Lombok Timur Bertahan Hidup Dalam Kepungan Perang Suriah

Dilansir dari LOMBOKPOST[.]NET oleh Fathul Rakhman.

Menjadi korban perdagangan orang (human trafficking). Pernah terjebak di daerah konflik bersenjata. Melihat mayat bergelimpangan. Pada akhirnya Siti Hajar pulang kampung dengan sejuta pengalaman yang membuatnya semakin kuat. Sebagai orang tua tunggal, yang sekaligus menghidupi kedua orang tuanya, Hajar tidak pernah mengeluh.

Nasi sudah jadi bubur. Menjelang keberangkatan menjadi buruh migran ke Timur Tengah, Siti Hajar menyadari dia menjadi korban perdagangan orang (human trafficking). Dia mendaftar dan dijanjikan ke Saudi Arabia, tapi dia diberangkatkan ke Suriah. Informasi yang dia dapatkan, petugas lapangan yang merekrut para buruh migran perempuan mendapatkan uang Rp 15 juta. Hajar boleh pulang ke Lombok jika tidak ingin berangkat ke Suriah, tapi harus membayar Rp 7,5 juta. Tak ada pilihan lain, Hajar tetap berangkat ke Suriah. Negara yang asing baginya.

Tahun 2011, Hajar lupa tanggal dan bulannya. Setelah perjalanan panjang akhirnya dia tiba di bandara Damaskus. Malam hari, ketika turun pesawat, Hajar melihat suasana bandara yang lengang. Tidak banyak orang lalu lalang. Sangat sepi untuk ukuran bandara sebuah negara kaya di Timur Tengah. Begitu juga ketika memasuki kota, keluar dari bandara, suasana lengang menyelimuti kota. Di beberapa tempat, terlihat lebih gelap. Sementara di langit, beberapa kali Hajar mendengar suara petir. Dia berpikir mungkin akan turun hujan. Perjalanan dari Damaskus menuju kota calon majikannya di Homs, ditempuh dengan perasaan tidak enak. “Sudah beberapa minggu saya menyadari saya masuk Suriah ketika perang dimulai. Petir yang saya dengar dan lihat itu peluru,” kata Hajar saat ditemui Lombok Post, pekan lalu di kediamannya di Desa Lendang Nangka Utara, Kecamatan Masbagik, Kabupaten Lombok Timur.

Dimulai hari-hari panjang Hajar di negeri yang dilanda perang saudara itu. Bulan pertama di Homs, Hajar mendapat majikan yang tidak baik. Dia kembali ke agen yang menyalurkannya. Mendapat majikan baru. Kasusnya sama, majikan kasar dan sering minum alkohol. Hajar kembali lagi ke agen. Majikan ketiga barulah dia merasa cocok. Majikannya seorang hakim, istrinya dosen, anak-anaknya sudah dewasa. Putra bungsu mereka seorang tentara.

Hampir setiap malam Hajar melihat bunga api di angkasa. Hampir setiap hari, siang dan malam dia mendengar suara letusan senjata. Kadang suaranya seperti petir yang menyambar pepohonan. Kadang petir itu berupa dentuman keras. Beberapa kali dia merasakan gempa akibat dentuman itu.

Dia juga pernah terjebak dalam perang. Saat itu dia hendak ke rumah salah seorang anak majikannya. Di tengah perjalanan terjadi baku tembak. Semua orang berlari dan berteriak. Hajar menangis. Beruntung dia selamat.

Lain waktu, dia melihat mobil. Seperti mobil truk bak terbuka yang biasa mengangkut kendaraan. Di atas mobil itu diletakkan roket. Majikan perempuannya menyuruh Hajar sembunyi di bak mandi. Selang beberapa menit terdengar suara dentuman. Semua kaca rumah pecah. Ketika mengintip dari atas rumah, Hajar melihat bangunan sekitar juga mengalami nasib yang sama. Kaca pecah. “Lama-lama jadi biasa,” kata Hajar.

Di Kota Homs kondisi saat itu masih relatif aman. Majikan Hajar juga cukup baik. Ketika kondisi bergolak, dia dipindahkan ke kota lain yang lebih aman. Beruntung majikannya orang kaya, punya rumah di kota lain. Selama 3,8 tahun di Suriah, Hajar sudah lupa berapa kali dia bolak balik dari Homs ke Tartus, salah satu kota yang masih aman saat itu. Hajar juga sudah lupa berapa kali dia mendengar suara letusan, bunga api di angkasa. Hajar juga lama-lama terbiasa melihat bangunan yang rusak akibat senjata, dan lama-lama dia terbiasa melihat mayat. Apalagi saat proses kepulangannya ke Tanah Air.

Dia ditampung di Kantor Kedutaan Besar (Kedubes) Indonesia. Saat penampungan itu, dia berkenalan dengan TKI/TKW dari berbagai daerah. Di penampungan itu juga dia melihat mayat-mayat bergelimpangan. “Ada yang hilang telinganya, ada yang hilang tangannya. Ada yang tinggal tangannya yang utuh,” kenangnya.

Hajar yang sebenarnya akan bekerja 2 tahun, tapi pada akhirnya dia tertahan hingga 3 tahun 8 bulan. Saat dia pulang di akhir 2014, Suriah benar-benar menjadi medan pertempuran.

Hajar beruntung, selama bekerja di majikannya yang hakim dan dosen itu. Sang majikan mengirim gajinya ke keluarga. Awalnya gaji awal dikirim Rp 5 juta ke keluarganya, tapi laporan yang diterima uang itu habis. Hajar meminta bantuan tetangganya yang menjadi “ojek rekening”. Menitip di rekening orang yang dia percaya. Uangnya utuh. Sepulang ke Lendang Nangka Utara, Hajar mampu membangun rumah.

Sebenarnya Hajar sudah sering menjadi buruh migran. Dia pernah menjadi TKW di Malaysia sebanyak dua kali. Hajar juga pernah ke Singapura. Suriah yang paling lama. Hajar mau menjadi TKW hingga 4 kali untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. “Untuk anak-anak sekolah,” katanya.

Di usia yang sudah tidak muda lagi. Hajar memutuskan bekerja di rumah. Apalagi dia harus mengasuh anaknya dan kedua orang tuanya. Ya, ketika Hajar menjadi TKW, suaminya memadu kasih dengan perempuan lain. Kini mereka sudah bercerai. Dua orang tua Hajar juga tinggal di rumah hajar.

Sehari-hari hajar membuat kue bantal, ketan yang dimasukkan dalam wadah daun kelapa dan bagian dalamnya ditaruhkan pisang. Sore dan malam hari dia merebus bantal. Subuh dia berangkat ke pasar Paokmotong jualan ketan. Dari pasar Paokmotong dia membeli sayuran. Sayuran itulah yang dijual keliling dari satu rumah ke rumah lain. Kegiatan ini dilakoni Hajar seorang diri setiap hari. Bersama para perempuan di desanya, Hajar juga masuk menjadi kelompok usaha yang dibina Pusat Inkubasi Bisnis Desa (PINBIB) Lendang Nangka Utara. Kelompok di Lendang Nangka Utara memproduksi keripik singkong, keripik pisang, kerupuk nanas, dodol nanas, dan bantal. Usaha ini menjadi tumpuan hidup Hajar dan para perempuan anggota kelompok.

Para perempuan kelompok usaha di Desa Lendang Nangka Utara. Profil mereka hampir sama. Pernah menjadi TKW, atau suami mereka jadi TKI. Tingkat pendidikan mereka juga rendah. Hajar sendiri hanya tamat sekolah dasar (SD). Pekerjaan yang dilakoni sekarang, menurut Hajar, bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tanpa harus bertaruh nyawa seperti di Suriah. Tak perlu mendengar omelan majikan seperti pengalaman di Malaysia dan Singapura.

Hajar bermimpi, usaha yang dilakoni sekarang ini akan bertambah besar. Modal sendiri yang terbatas membuatnya tidak bisa meningkatkan kapasitas produksi, atau modal menambah barang jualan. Modal dari sisa tabungan selama menjadi TKW benar-benar dimanfaatkan oleh Hajar. Walaupun dia tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya sekolah tinggi, bahkan satu anaknya drop out SMP, Hajar tidak ingin anak-anaknya mengikuti jejaknya.

3 tampilan0 komentar

Postingan Terkait

Lihat Semua

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page