top of page

Kisah Rusihan, Ibu Single Parent Berjuang Menyalakan Mimpi Keenam Anaknya

Rusihan masih ingat betul bagaimana kepribadian sang suami, pekerja keras dan penyayang. 
Jiwa besar sang suami telah mengalir dalam dirinya meskipun sang suami telah almarhum. 
Kini, ia harus berjuang seorang diri menyalakan mimpi keenam anaknya. 
Poto Istimewa : Rusihan mantan PMI Asal Desa Suralaga.
Poto Istimewa : Rusihan mantan PMI Asal Desa Suralaga.

adbmi.org - Di sebuah sudut dusun kecil di Desa Suralaga, tinggal seorang perempuan yang melawan sunyi dan getir hidup dengan tekad yang tak lekang oleh waktu. Namanya Rusihan.


Wajahnya menyimpan garis-garis lelah, tapi matanya masih menyalakan bara—bara harapan yang ia pelihara untuk masa depan enam buah hatinya.


Ia tinggal di rumah sederhana beratap spandek, dindingnya menyimpan cerita, lantainya mencatat jejak langkah perjuangan.


Rumah itu mungkin tak besar, tapi bagi Rusihan dan anak-anaknya, itulah syurga yang disusun dari sisa-sisa kehilangan dan serpihan harapan.


Dulu, ia tidak sendiri. Muhammad Ali Rawas, suaminya, adalah lelaki penyayang dan pekerja keras. Mereka berkenalan di Suriah, saat Rusihan menjadi pekerja migran pada 1998. Ia dipinang, dan di bawa ke Lebanon, dan di sanalah mereka membangun keluarga. Dua dekade hidup dalam cinta dan kerja keras, sebelum perang merebut segalanya.


Juli 2020, dentuman bom dari konflik mematikan antara Israel dan Lebanon merenggut sosok lelaki itu dari pangkuan keluarga. Ali tewas seketika. Padahal, niatnya hanya ingin datang ke Indonesia, menjemput istri dan anak-anaknya. Namun takdir berkata lain, Rusihan, harus berdiri sendiri, menanggung dunia di pundaknya.


Mengais Rupiah, Menyalakan Harapan Dengan Menjadi Tukang Ojek Penggilan 

Poto Istimewa :  Rusihan saat menunjukkan data - data serta Poto keenam anaknya ketika masih kecil.
Poto Istimewa : Rusihan saat menunjukkan data - data serta Poto keenam anaknya ketika masih kecil.

Setelah kembali ke tanah air pada 2017, Rusihan tak sempat berlama-lama dalam duka akibat konflik. Ia segera menghidupkan mesin motornya—menjadi tukang ojek panggilan demi sesuap nasi. 


Ia mengantar para calon pekerja migran ke kantor imigrasi, ke medical check up, dan ke tempat pelatihan. Seringkali ia hanya dibayar seikhlasnya, atau tidak sama sekali. Tapi bagi Rusihan, bukan nominal yang penting, melainkan bagaimana anak-anaknya tetap bisa makan. Lebih penting lagi, tetap bisa sekolah.


"Berat rasanya... tapi kami harus terus bertahan hidup," ucapnya lirih, saat ditemui. Ia bicara dengan suara yang nyaris retak, tapi mata dan semangatnya tetap menyala.


Keenam anaknya menjadi alasan kenapa ia belum berhenti. Di tengah sempitnya kehidupan, keenam anaknya masih punya mimpi yang menjulang tinggi. Ada yang ingin jadi pilot, dokter, bahkan ahli teknologi. Mimpi-mimpi itu ia jaga seperti menyalakan lilin di tengah badai.


Namun, trauma masa lalu belum sepenuhnya hilang. Bahkan saat gempa melanda pulau Lombok tahun 2018, mereka membeku di dalam rumah. Kenangan akan suara roket dan ledakan di Lebanon masih terlalu nyata untuk dilupakan.


Negara Masih Terlalu Jauh

Poto Istimewa : Rusihan saat di ikunjungi di rumahnya.
Poto Istimewa : Rusihan saat di ikunjungi di rumahnya.

Meski telah diberi bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) oleh pemerintah desa, bantuan sosial lainnya masih samar. Muhammad Tobrani, bendahara desa Suralaga, mengakui bahwa upaya sudah dilakukan. 


"Data DTKS sudah diajukan, tapi belum ada kepastian," ucapnya saat mendampingi penulis. 


Hingga kini, Rusihan dan anak-anaknya belum tersentuh program bantuan dari pemerintah daerah kabupaten Lombok Timur ataupun provinsi NTB. 


Di tengah ingar-bingar janji pembangunan dan kemajuan teknologi, Rusihan hanyalah bisikan kecil yang nyaris tenggelam. Tapi bisikan itu terus bergaung dalam sunyi. 


Ia tidak menuntut, hanya berharap—agar anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan tanpa dihantui bayang lapar dan trauma perang.


Ia bukan siapa-siapa dalam peta politik atau statistik negara. Tapi dalam rumah kecilnya, ia adalah segalanya. Seorang ibu, seorang ayah, seorang pejuang. 


Dalam diamnya, ia telah menulis bab paling berani dalam buku kehidupan—tentang cinta yang bertahan di tengah kehancuran, tentang harapan yang tumbuh di atas puing-puing reruntuhan. 

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

ADBMI Foundation

Kami concern terhadap isu-isu Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan keluarganya.

Email: yayasanadbmi@gmail.com

Phone: 037621880

Kab. Lombok Timur

Update Buletin Setiap Bulan

Terimakasih sudah berlangganan..!!

© 2025 - ikone |  Terms of Use  |  Privacy Policy

bottom of page