Keberuntungan TKI Sukses, Katanya Takdir (Membangun Kesadaran Kritis)
Oleh: Widya Harwin |
Menjadi TKI ke luar negeri tidak selalu menjadi pilihan banyak orang, tetapi kebanyakan orang memilih untuk menjadi TKI dengan berbagai macam alasan, namun yang paling lumrah yaitu karena dorongan faktor ekonomi. Dulu, pilihan untuk merantau ke negeri orang jamaknya tentu saja untuk mencari peruntungan yang lebih besar alias duit yang lebih banyak agar bisa menyejahterakan kehidupan keluarga di rumah. Namun kini faktor pendorong tersebut telah semakin bergeser dan menjelma menjadi alasan-alasan yang mengandung faktor sosial (bukan lagi sekedar faktor ekonomi), bahkan di beberapa kasus khususnya dalam sebuah keluarga, faktor sosial tersebut mulai terlihat seperti budaya yang diciptakan sendiri oleh keluarga tersebut, budaya menjadi TKI.
Tidak salah, seluruh agama yang tercatat dianut di Indonesia tidak satupun melarang umatnya untuk menjadi TKI, bahkan pemerintah pun membuka jalan sedemikian lebarnya untuk masyarakat Indonesia menjadi TKI ke luar negeri (tentu saja karena pemerintah dapat untung makanya dikasi jalan, kalau tidak dapat bagaimana ya?). Namun yang kemudian menjadi benang kusut (cuma benang kusut lho ya, bukan masalah, karena tidak semua orang merasa bermasalah dengan hiruk-pikuk dunia TKI) dalam sejarah perkembangan migrasi TKI ke luar negeri adalah kata bijak yang mencakup sifat bijak dari pelaku migrasi dalam mengambil keputusan untuk menjadi TKI yang kebanyakan dilakukan tanpa persiapan yang matang baik secara lahir maupun batin serta kebijakan pemerintah tercinta kita dalam merumuskan berbendel-bendel pasal peraturan mengenai dunia TKI yang ternyata terbukti hingga saat ini tidak begitu banyak membantu persoalan yang dihadapi TKI di negeri orang, bahkan di negeri sendiri. Tanya ken kenapa?. The answer is kebijakan yang diciptakan pemerintah untuk masalah TKI yang telah menghabiskan dana rapat mungkin hingga bermilyar-milyar itu tidak lain hanyalah rentetan turunan dari peraturan sebelumnya yang katanya semua didasarkan pada UUD 1945.
UUD ’45 sendiri setelah mengalami 4 kali perubahan akhirnya memiliki 20 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal aturan peralihan, dan 2 pasal aturan tambahan. Sedangkan UU dan berbagai peraturan mengenai per-TKI-an tidak sanggup saya hitung jumlahnya karena turunannya terlalu banyak. Bayangkan saja pemirsa, mulai dari UUD kemudian dikembangkan/diturunkan (secara kasat mata bisa dibaca ditambahkan) menjadi UU yang bernomor seri sesuai dengan tema UU tersebut, ada yang perlindungan, penempatan, ketenagakerjaan dan banyak sebagainya. Eits belum habis di situ, dari UU bernomor sekian tersebut kemudian ditambahkan lagi pada peraturan menteri, peraturan presiden, peraturan daerah, peraturan gubernur, bupati, camat hingga desa (it’s a WOW, yang tidak bingung tingkat provinsi sama bergudang-gudang peraturan tersebut unjuk gigi ayo?). Rentetan peraturan yang sedemikian rupa jelas saja membuat bias peraturan yang sebenarnya benar-benar dibutuhkan dan penting bagi kemaslahatan TKI, bangsa dan negara. Aplikasinya lemah semua, mandul permanen. Dari beribu-ribu peraturan tersebut, pasti bisa dihitung dengan jari beberapa yang benar-benar dijalankan/diaplikasikan ke TKI (dijalankan saja lho ini, tidak termasuk yang tidak dipatuhi). Belum lagi jika dipikirkan dari segi ekonomi, biaya yang dihabiskan untuk membuat satu peraturan saja (karena harus melibatkan banyak orang penting yang jatah makan dan transportnya juga tentu luar biasa banyaknya) bisa jadi sama besar dengan gaji TKI se-Lombok Timur selama 2 tahun kontrak bekerja di luar negeri. (searching di google nihil L, jadi bisa puas menerka-nerka J untung tidak ada yang publikasi biayanya, kalau sampai ada, shodaqallaul’adzim dah pemerintah ini).
Meskipun demikian pelik langkah yang harus dilalui oleh seorang TKI untuk mencapai tujuannya (tapi jika ingin berpredikat resmi lho ini, yang tidak resmi itu maha gampang), tidak sedikit juga TKI kita yang mendapatkan hasil sesuai harapan bahkan melebihi harapan. Selain dari niat yang mantap, ikhtiar & tawakkal yang tidak putus serta persiapan yang matang, faktor vitamin K juga dipercaya masyarakat menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan pencapaian tersebut (Vitamin Keberuntungan). Padahal jika ditelisik lebih lanjut, keberuntungan itu tidak lain adalah suatu bentuk sugesti pada suatu hal baik yang terjadi pada diri seseorang, dan sayangnya sugesti tersebut terlanjur dipercaya sebagai faktor X yang tidak bisa didapatkan oleh tiap-tiap manusia pada saat yang sama. Tidak semua orang beruntung (begitulah singkatnya). Hal ini sangat diyakini oleh hampir seluruh lapisan masyarakat di dunia, bukan hanya di Indonesia. Bahkan di negara kita tercinta ini, yang notabene masyarakat awam maupun modern masih banyak sekali yang terikat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kekuatan kepercayaan animisme-dinamisme nenek moyang kita jaman dulu (kita anggap wajar saja ya) yang seringkali melakukan suatu ritual-ritual sederhana bahkan ritual yang sangat heboh/besar yang dikaitkan dengan pencarian keberuntungan. Example: benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan magis sebagai pembawa keberuntungan, keberuntungan dilihat dari tanggal lahir, shio, bintang, mengadakan sebuah upacara besar-besaran untuk mendatangkan keberuntungan dan lain sebagainya. Sebenarnya itu bukan masalah, tapi yang kemudian menjadi benang kusut lagi yaitu pada saat hal tersebut menjadi sebuah keyakinan yang terang-terangan mampu mengesampingkan fungsi kerja otak kiri sebagai pusat IQ (Intellegence Quotient) atau kecerdasan manusia dalam melakukan analisa dan proses pemikiran logis terhadap suatu hal yang telah, sedang dan akan dihadapi/diyakini sebelumnya. Manusia diciptakan sedemikian rupa dilengkapi dengan otak yang maha-dahsyat sehingga memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan mahluk hidup lain didunia agar bisa dipergunakan sebaik-baiknya dan mengantarkan kepada kebaikan di dunia dan di akhirat nanti. Semua manusia tahu hal itu, hampir semua mengerti dan memahami, tapi hanya seujung kuku yang tahu, mengerti dan mempergunakannya. (Anda termasuk yang mana ayo?)
Yang lebih parah lagi, ada pemuka agama Islam (kita ambil dari sudut pandang Islam dulu ya, maklum penulis belum pernah belajar agama lain) yang sudah memiliki sekian ribu jemaah (pernah dengar dan liat di berita-berita dan dibicarakan orang banyak ini ya), juga meyakini hal yang sama dan bahkan membuat sebuah ritual yang dikaitkan dengan ajaran agama Islam. Astaghfirullaahal’adziim. (gimana umatnya bisa bener ya? sesat betul!). Padahal dalam Q.S. Al-Baqarah Ayat 3-5 (bagi para ulama lho ini), dengan sejelas-jelasnya Allah SWT berfirman :
“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabbnya, dan merekalah orang-orang yang beruntung.”
Masih kurang jelaskah itu? Sudah sangat jelas diterangkna dalam ayat tersebut bahwa mereka yang beruntung adalah orang memenuhi beberapa kriteria yang juga disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah Ayat 3-5 di atas. Itu artinya, semua manusia bisa beruntung jika mampu memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Sekali lagi, semua manusia!. Dan ini 100% bukan sugesti.
Uraian yang sedemikian panjang di atas juga sangat berkaitan erat dengan semua lini kehidupan kita sehari-hari sejak pertama kali hadir di dunia hingga menutup mata. Tak terkecuali pada dinamika kehidupan para TKI. Ada tiga macam kesadaran yang sangat melekat pada proses kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini yaitu:
Kesadaran Magis, sikap pasrah yang selalu mengembalikan kepada takdir;
Kesadaran Naif, sikap polos yang seringkali menganggap bahwa kejadian tersebut menimpa dirinya karena kebodohan/kesalahan diri sendiri; dan
Kesadaran Kritis, sikap analis yang mencari akar permasalahan atau faktor-faktor yang menyebabkan suatu peristiwa menimpa dirinya.
Sikap pada kesadaran jenis 1 dan 2 bisa dikatakan telah menonaktifkan IQ yang dimiliki. Sebaliknya, pada jenis kesadaran 3, justru IQ yang bermain. Analisa mendalam dengan berbagai sumber yang juga dianalisa terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membenarkan, mempercayai, melakukan atau mengambil keputusan terhadap sesuatu. Sikap seperti ini sangat tidak mudah didapatkan. Perlu melalui banyak proses penempaan yang berbeda-beda dan waktu yang berbeda-beda pula untuk masing-masing orang dan bergantung pada banyak sekali faktor baik lingkungan, sosial, budaya dan lain sebagainya. Tapi pada intinya adalah pemanfaatan IQ-lah yang menjadi ujung tanduknya.
Namun sayangnya, faktor vitamin K dalam dunia TKI jauh lebih mendominasi daripada IQ. Meskipun para petinggi kita (yang banyak andil dalam dinamika TKI) memiliki IQ di atas rata-rata orang pada umumnya, banyak dari mereka yang tidak memiliki kesadaran kritis atau bahkan parahnya lagi mengabaikan potensi kesadaran kritis yang dimiliki karena lebih tergiur dengan Real, Ringgit dkk dari proses migrasi TKI kita, terlebih lagi jika ada yang berkasus. (pura-pura bodoh begitu mereka, hmm).
Tupoksi Pemerintah, Memerintah Tidak Diperintah
Saya contohkan saja sebuah kasus yang respon awal penyelesaiannya oleh pemerintah yang diwakili oleh BP3TKI (lembaga sekelas provinsi lho ini, dicatat!) sangat tidak menarik dan terkesan membuat korban menjadi patah semangat (saya sebut itu sebagai kesadaran magis yang keterlaluan, ditambah dengan viktimisasi yang sangat menyakitkan). Muncullah sebuah kasus tindak kekerasan, penjualan, pelecehan, gaji tidak dibayar yang dialami oleh seorang TKI wanita kita asal Dusun Gubuk Puntik, Desa Suralaga, Kecamatan Suralaga, Lombok Timur bernama Seriati (umur 34 tahun dan masih single). Seriati berangkat ke Saudi Arabia pada tahun 2007 melalui sebuah PT yang PL-nya adalah tetangga di sebelah rumah Seriati. Selama hampir 6 tahun bekerja di sana, Seriati tidak pernah diperlakukan dengan baik oleh majikannya terutama majikan laki-laki (Bapak Su’ud namanya). Pemukulan, pelecehan dan terkekang/tidak diberikan akses apapun selain bekerja di dalam rumah serta gaji yang tidak pernah dibayar sesuai dengan perjanjian, bahkan sering dipinjam lagi oleh Bapak Su’ud adalah makanan sehari-hari Seriati selama berada di sana. Setahun bekerja di rumah Bapak Su’ud, karena bosan memukul dan tidak pernah mau dilayani oleh Seriati, Bapak Su’ud pun menjual Seriati kepada misannya yaitu Bapak Saleh. Di rumah Bapak Saleh, Seriati justru mendapatkan perlakuan yang lebih parah lagi, selain dipukuli, dilecehkan, tidak diberi akses apapun, gajinya sama sekali tidak pernah dibayar pula. Selama hampir 5 tahun bersabar dengan perlakuan tersebut, pada suatu ketika Seriati akhirnya mengumpulkan seluruh keberaniannya yang disimpan selama bertahun-tahun untuk melapor via telpon ke kedutaan (tentu saja nyolong kesempatan, walaupun sangat tidak gampang) dan mengadukan permasalahannya dalam waktu yang sangat singkat. Coba tebak respon kedutaan bagaimana? “Tolong mbak kirimkan saya surat pengaduan kasusnya ke kedutaan agar bisa saya proses”, kalimat tersebut sangat mirip seperti yang diceritakan oleh Seriati. (sadar apa tidak sich, menelpon saja harus nyolong kesempatan, boro-boro mau kirim surat, halo?). Seriati sempat patah semangat mendengar jawaban petugas tersebut, namun karena tekad yang sudah bulat, Seriati menjelaskan dengan sedikit emosi mengenai keadaannya dan meminta pertolongan dengan amat sangat agar bisa dikeluarkan dari rumah Bapak Saleh.
Singkat cerita, atas bantuan kedutaan dan perjuangan Seriati sampai mogok makan dan selalu menangis agar diizinkan untuk pulang, akhirnya Seriati berhasil mendapatkan izin cuti selama 2 bulan untuk pulang ke Indonesia dengan syarat Seriati tidak akan diberikan gajinya selama bekerja di Bapak Saleh jika Seriati tidak kembali ke Saudi lagi. Seriati kegirangan diberi izin hingga langsung saja mengiyakan tawaran tersebut karena juga tidak ada bukti hitam di atas putih, hanya kesepakatan biasa. Seriati pun mendarat di Jakarta dengan seluruh ongkos ditanggung sendiri (bukan dari majikan, apalagi pemerintah), tidak berangkat pulang lewat KBRI. Sesampainya di Jakarta, Seriati kembali melaporkan apa yang dialaminya di Saudi panjang lebar. Sekali lagi, respon yang didapatkan hanya sebuah senyuman oleh pihak terkait ditambah dengan kalimat,
“sabar mbak, mbak masih beruntung bisa pulang sehat, malah banyak yang pulang tanpa nyawa, banyak-banyak bersyukur sudah mbak!”.
Seriati kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke Lombok tanpa mendapatkan apa-apa kecuali kata-kata tersebut (masalah gaji hanya disebut sendiri oleh Seriati tanpa ada respon balik dari petugas, mulai keliatan ini gelagatnya). Seriati sampai di Suralaga pada bulan Juni lalu, beberapa hari sebelum masuk bulan Ramadhan. Mendengar cerita kepulangan Seriati dengan permasalahan gaji, dengan sigap ketua LSD Suralaga (Turmawazi) yang kebetulan satu dusun dengan Seriati melakukan investigasi atas kasus tersebut. Mengetahui bahwa PL yakni H. Pur yang memberangkatkan Seriati juga adalah salah satu orang terpandang di desa Suralaga (bahkan isterinya adalah anggota LSD juga), Turmawazi langsung mengambil jalan tengah dengan mengajak Seriati untuk meminta pertolongan H. Pur untuk mengurus masalah gaji tersebut (agar tidak berkepanjangan) karena memang merupakan tanggung jawab PPTKIS. Janji tinggal janji, bahkan berujung pada kalimat,
“PT yang memberangkatkan dulu sudah bangkrut, bubar, saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, saya sudah pindah bekerja di PT yang lain. Maaf saya tidak bisa bantu lebih banyak lagi”, begitulah ucapan H. Pur.
Menyadari respon yang tidak membuahkan hasil apa-apa, Turmawazi kemudian berniat untuk melaporkan kasus tersebut ke Dinas STT Lombok Timur setelah mengumpulkan semua dokumen yang masih disimpan terkait TKI Seriati. Ternyata, di Dinas STT pun responnya tidak membantu sama sekali, malah balik menceritakan kisah yang lebih pilu dari Seriati. Tidak berhenti di situ, Turmawazi kemudian melaporkan kasus tersebut ke BP3TKI Mataram (pikirnya, BP3TKI punya wewenang yang lebih besar, jadi kemungkinan kasus akan cepat selesai lebih besar). Salah satu petugas pengaduan di BP3TKI pun mengisi form pengaduan kasus Seriati, setelah selesai berdiskusi panjang lebar mengenai kasus Seriati dan kasus serupa lainnya yang kebanyakan justru hanya mempertegas tugas BP3TKI dan yang ternyata bisa dilakukan BP3TKI atas kasus Seriati hanya melaporkan saja, pengurusannya akan diserahkan ke lembaga ini dan itu yang mungkin akan memakan waktu sekian lama. Bahkan Seriati disalahkan,
“Seharusnya mbak diam dulu di Saudi untuk mengurus masalah gaji tersebut di KBRI, kalau sudah di Indonesia bisa jadi tidak bisa cair gajinya, karena proses pengurusannya jika mbak diam di sana saja cukup susah, apalagi sudah pulang ke Indonesia. Saat ini kami hanya bisa melaporkan saja dulu karena wewenang kami juga terbatas, coba saja mbak bersabar lebih lama di sana agar pengurusannya bisa dilakukan dari sana. Sekarang kalau sudah begini, apalagi PPTKIS-nya sudah bubar, PL-nya juga cuek sama kasus ini, kami tidak bisa berbuat banyak. Mbak sabar aja, kalau memang beruntung, pasti ada jalan”. Begitu ujarnya (saya juga hadir di sana, jadi bisa menguraikan kalimatnya dengan ketepatan hampir 100%).
Kalimat-kalimat yang dilontarkan petugas tersebut adalah salah satu bukti sikap kesadaran magis dan naif serta viktimisasi (mengorbankan korban) tingkat provinsi. Astaghfirullah.
Entah sebenarnya IQ-nya berfungsi atau tidak. Tidakkah ada sedikit rasa iba pada penderitaan Seriati sehingga bisa mendorong beliau yang cukup berwenang untuk membantu melakukan kontak dengan siapa saja yang bisa membantu. Bisa jadi sebenarnya berfungsi, tetapi karena tuntutan profesi atau untuk menutupi kesalahan sendiri sehingga korbanlah yang justru disalahkan atas kerugian yang dialaminya. Begitulah pemerintah, dengan santai meloloskan seorang TKI untuk bekerja ke luar negeri setelah melalui proses yang dibuat sangat panjang dan berbelit-belit, begitu mendapatkan pengaduan kasus, dengan santai juga melemparkan ke lembaga yang lain yang katanya lebih berwenang dan seringkali meminta pihak korban untuk mengurus sendiri langsung ke lembaga terkait sembari berkata, “sabar ya, sudah takdir, diterima saja”.
Lalu kemudian siapa yang seharusnya bertanggung-jawab dan memproses pemenuhan gaji Seriati yang selama 5 tahun belum dibayarkan? Sampai kapan Seriati dan Seriati-Seriati lainnya harus bersabar? Haruskah Seriati kembali lagi ke Saudi hanya untuk mendapatkan gajinya tersebut?
Comments