Ibu, Jarak, dan Rindu yang Diam
- ADBMI Foundation
- 15 Jul
- 2 menit membaca

Di sebuah dermaga yang lapuk oleh waktu, seorang ibu duduk sendiri di atas sebuah bollard kapal—besi tua penambat yang biasa mengikat tali dari perahu-perahu yang bersandar. Ia duduk diam, menatap ke arah laut yang tenang, sesekali menoleh ke bawah, ke arah keluarganya yang lesehan di atas tikar. Mereka bercanda kecil, menikmati sore, udara pantai, dan kebersamaan. Tapi sang ibu tak bergabung. Ia tetap di atas sana, membiarkan dirinya diam, mengamati dari jauh.
Bollard itu kukuh, sedikit berkarat, tapi tak pernah bergerak. Mungkin seperti ibu itu sendiri—tampak diam, tapi menjadi pengikat dari begitu banyak hal yang tak terlihat. Ia tidak berbicara banyak, tidak ikut tertawa keras, tapi ia hadir sepenuhnya. Duduknya tak berpindah, seakan menambatkan segala yang sedang berlayar dalam pikirannya.
Tak semua ibu ingin duduk di tengah keramaian. Ada yang lebih nyaman sedikit menjauh, bukan karena tak ingin bersama, tapi karena sedang membungkus perasaan yang terlalu penuh untuk dibagi. Mungkin rindu, mungkin lelah, mungkin perasaan bersalah yang tidak pernah tuntas—terutama jika ia adalah seorang ibu yang pernah, atau masih, bekerja jauh dari rumah. Seorang pekerja migran yang bertahun-tahun hidup di negeri asing demi anak-anak yang kini tumbuh lebih besar darinya tanpa benar-benar tahu rasanya dipeluk tiap malam.
Duduk di atas bollard kapal bisa jadi bukan pilihan sadar. Tapi secara tak sengaja, posisi itu mengisahkan banyak hal. Seperti peran seorang ibu yang sering tak kelihatan tapi menentukan. Ia menambatkan semuanya. Menjadi titik diam agar keluarga tetap utuh, meski hidup sering bergoyang, berpindah arah, atau berlayar menjauh.
Dalam banyak keluarga migran, ada sosok ibu yang tak banyak bicara, tapi menyimpan peta arah di dalam hatinya. Yang tahu ke mana harus pulang, bahkan ketika jarak memisahkan. Duduk sendiri di dermaga tak selalu berarti kesepian. Kadang itu adalah bentuk tertinggi dari kehadiran—hadir sepenuh hati, tanpa perlu banyak kata.
Foto ini menangkap satu momen kecil, tapi tak biasa. Ada jeda. Ada napas panjang yang tak terdengar. Ada seorang ibu di atas bollard kapal, dan keluarganya di bawah. Tapi mereka tetap satu gambar. Satu cerita.
Karena cinta memang tak selalu duduk di tengah. Kadang ia memilih tempat yang sedikit menjauh, agar bisa melihat lebih luas, agar bisa menjaga dari luar, agar bisa tetap kuat saat yang lain bersandar.



Komentar